Terbaru dan Terpanas

Kumpulan Informasi Terbaru dan Terpanas

Friday, March 22, 2013

Tindak Pidana Pencucian Uang “Money Laundering”

Tindak Pidana Pencucian Uang “Money Laundering”
 

http://yaya-rachman.blogspot.com/

I. TNDAK PIDANA PERBANKAN.
Tindak pidana perbankan terdiri atas perbuatan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan dan Undang-Undang perubahannya serta peraturan pelaksanaannya, pelanggaran mana dilarang dan diancam dengan pidana yang dimuat dalam Undang-Undang itu sendiri.
Adapun tindak pidana di bidang perbankan terdiri atas perbuatan-perbuatan yang melawan hukum dalam ruang lingkup seluruh kegiatan usaha pokok lembaga keuangan bank, sehingga perbuatan tersebut biasanya diancam juga dengan ketentuan pidana yang yang termuat diluar UU no 7 tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-undang perubahannya serta peraturan pelaksanaannya, sehingga penindakannya berdasar delik biasa dan atau delik khusus.
Bentuk tindak pidana perbankan bisa berupa tindak kejahatan seseorang terhadap bank, tidak kejahatan bank terhadap bank lain, ataupun tindak kejahatan bank terhadap perorangan sehingga dengan demikian bank dapat menjadi korban maupun pelaku. Adapun dimensi ruang tindak pidana perbankan tidak terbatas pada suatu tempat tertentu bisa melewati batas-batas territorial suatu negara. Begitu pula dimensi waktu bisa terjadi seketika, tetapi juga bisa berlangsung beberapa lama.
Adapun ruang lingkup terjadinya tindak pidana perbankan, dapat terjadi pada keseluruhan lingkup kehidupan dunia perbankan atau yang sangat berkaitan dengan kegiatan perbankan dan lebih luasnya mencakup juga lembaga keuangan lainnya, sedangkan ketentuan yang dapat dilanggarnya baik yang tertullis maupun yang tidak tertulis juga meliputi norma-norma kebiasaan pada bidang perbankan, namun semua itu tetap harus telah diatur sanksi pidananya. Lingkup pelaku dari tindak pidana perbankan dapat dilakukan oleh perorangan maupun badan hukum (korporasi).
II. KUALIFIKASI TINDAK PIDANA PERBANKAN.
Kualifikasi bentuk tindak pidana perbankan ada dua jenis yaitu kejahatan, dan pelanggaran. Secara garis besarnya bentuk kejahatan dan pelanggaran yang sering terjadi di bidang perbankan yaitu diantaranya :
  • a. Penipuan, atau kecurangan di bidang perkreditan (credit fraud).
  • b. Penggelapan dana-dana masyarakat (embezzlement of public funds).
  • c. Penyelewengan atau penyalahgunaan dana-dana masyarakat (misappropriation of public funds).
  • d. Pelanggaran terhadap peraturan-peraturan keuangan (violation of currency regulations).
  • e. Pencucian uang (money laundering)
Penggolongan tidaklah mungkin secara ketat dan kaku diberlakukan atas suatu tindak pidana perbankan yang terjadi karena pada dasarnya penggolongan tersebut hanyalah untuk mempermudah secara teoritis sedangkan dalam prakteknya suatu tindak pidana itu dapat melintasi penggolongan secara teoritis karena keterkaitan unsur-unsur dari tindak pidana tersebut yang sering melebar sehingga pembedaannya sangatlah tipis atau gradual saja.
2.1. Penipuan, atau Kecurangan di Bidang Perkreditan.
Kecurangan (fraud): pemalsuan, penipuan, atau pemberian gambaran atau keterangan yang tidak sebenarnya dengan tujuan memperoleh keuntungan dengan menimbulkan kerugaian material bagi pihak lain, Contohnya dari bentuk kecurangan dalam perkreditan yaitu tindakan mark up (penggelembungan jumlah kebutuhan investasi suatu proyek untuk mendapatkan kredit yang lebih besar dari semestinya). Bentuk tindakan lain yang dapat digolongkankepada tindakan penipuan, dan kecurangan dalam bidang perkreditan (credit fraud) yaitu tindak pidana yang diatur dalam pasal 35  Undang-Undang no. 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia yaitu tindakan debitur yang memberikan keterangan secara menyesatkan, sebagaimana diatur dalam pasal tersebut yang intinya mengatur sebagai berikut:
Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan, mengubah, menghilangkan atau engan secra apapun memberikan keterangan secara menyesatkan, sehingga terjadinya perjanjian fidusia maka dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun, dan denda paling sedikit Rp. 10 juta dan paling banyak 100 juta”.
Perbuatan ini terjadi karena adanya kolusi antara para pihak terkait dalam suatu kegiatan perbankan tersebut. Pihak oknum bank memberikan kemudahan kepada pelaku dengan melakukan penyimpangan atas ketentuan perkreditan yaitu di antaranya terhadap ketentuan yang tertuang dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor SE 6/22/UPK/1973. Oknum pihak bank telah menerima fasilitas dari si pelaku tindak pidana tersebut guna memperlancar pencairan kreditnya sementara kredit tersebutkemudian tidak dapat dikembalikan pada waktunya.
Perbuatan kecurangan perkreditan ini menurut peraturan yang berlaku sekarang dapat dikategorikan sebagai suatu kejahatan sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 49 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Ancamannya yaitu pidana penjara sekurang-kurangnya 3 tahun dan palin lama 8 tahun serta denda sekurang-kurangnnya 5 milyar rupiah dan paling banyak 100milyar rupiah. Ketentuan pasal inipun dapat digabung dengan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971, khususnya pasal 2 dan 3, karena tampak ada unsure-unsur korupsinya terutama unsure memperkaya diri.
2.2. Penggelapan Dana Masyarakat.
Penggelapan dana masyarakat (embezzlement of public funds) sering terjadi dengan modus operandi berupa pembuatan dokumen asli tapi palsu, pemindah bukuan dan transfer fiktif. Pelaku penggelapan dana pada dasarnya mereka yang diserahi pengelolaan dana pada bank, misalnya teller, kasir atau pengelola transaksi valuta asing, dan pejabat karyawan yang berhubungan dengan pengelolaan dana. Modus teller diantaranya tidak menatausahakan deposito/simpanan nasabah secara benar melainkan mengalihkan dana tersebut untuk kepentingan si pelaku.
2.3. Penyelewengan atau Penyalahgunaan Dana Masyarakat.
Penyelewengan atau penyalahgunaan dana-dana masyarakat (misappropriation of public funds) dapat terjadi karena pemilik bank yang dengan tidak hati-hati bahkan dengan sengaja menggunakan dana masyarakat ke dalam kegiatan usahanya yang penuh spekulasi. Pengelola atau pemilik tidak mengindahkan ketentuan yang mengatur mengenai pemberian kredit kepada kelompok usahanya, pemberian kredit ini tanpa disertai jaminan dan bunga yang sesuai. Sehingga terjadi pembengkakan kredit macet dan akhirnya bank tersebut dicabut izinnya, dan likuidasi.
2.4.   Pelanggaran Terhadap Peraturan-Peraturan Keuangan.
Pelanggaran terhadap peraturan-peraturan keuangan (violation of currency regulations) biasanya dilakukan oleh para pihak yang berkecimpung dalam perbankan, misalnya komisaris, direksi bank, juga mereka yang termasuk kedalam kategori terafiliasi dalam perbankan serta nasabah yang memanfaatkan jasa perbankan. Contohnya ; pendirian bank gelap, pembocoran rahasia bank, laporan palsu dalam pencatatan atau pembukuan rekening atau transaksi suatu bank “window dressing”. Dan lain sebagainya.
2.5.   Pencucian Uang.
Pencucian uang “money laundering” adalah suatu tindakan dari seorang pemilik guna membersihkan uang hasil dari perbuatan yang melawan hukum dengan cara menginvestasikan atau menyimpannya di lembaga keuangan. Pencucian uang biasanya dilakukan dari hasil korupsi, merampok, atau perbuatan lainnya yang melanggar undang-undang.
Pencucian uang merupakan suatu tindak pidana. Tindak pidana ini diatur dalam suatu Undang-undang yaitu dalam Undang-Undang Nomor Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003. Pencucian uang dilakukan tujuan utama pelaku kejahatan melakukan pencucian uang adalah untuk menyamarkan hasil kejahatan agar si pelaku tersebut akhirnya bebas menikmati hasil kejahatannya. Di Indonesia pencucian uang memang baru-baru ini saja diadakan peraturan undang-undangnya karena sejak jatuhnya orde baru banyak kekayaan para pejabat dan terutama kekayaan mantan presiden Soeharto yang menjadi sorotan public, disanksikan oleh masyarakat karena diluar kewajaran dan dperkirakan diperoleh dari hasil korupsi selama dia menjadi presiden.
Tindak pidana pencucian uang dapat diselidiki dari transaksi-transaksi nasabah yang mencurigakan. Transaksi keuangan mencurigakan adalah transaksi yang menyimpang dari profil dan karakteristik serta kebiasaan pola transaksi yang dilakukan oleh nasabah, termasuk transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh penyedia jasa keuangan.
Beberapa contoh transaksi keuangan yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi transaksi keuangan mencurigakan dan kondisi yang sering digunakan dalam pencucian uang, apabila tidak diperoleh informasi yang memuaskan maka transaksi-transaksi dibawah ini harus dipandang sebagai transaksi keuangan mencurigakan :
1. Nasabah atau kuasanya berupaya menghindari untuk berhubungan langsung dengan penyedia jasa keuangan;
2. Penggunaan banyak rekening dengan alasan tidak jelas
3. Penyetoran dalam nominal kecil dengan frekuensi yang cukup tinggi dan kemudian dilakukan penarikan sekaligus
4. Penarikan dalam jumlah besar terhadap rekening tidak aktif
5. Penarikan dalam jumlah besar terhadap rekening yang baru menerima dana yang tidak diduga dan tidak biasa baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri;
6. Adanya transfer dana ke dalam suatu rekening dengan frekuensi yang sangat tinggi dan secara tiba-tiba padahal sebelumnya rekening tersebut tergolong tidak aktif
Nasabah yang berasal dari atau mempunyai rekening di negara yang dikenal sebagai tempat pencucian uang atau negara yang kerahasiaan banknya sangat ketat.
Berdasarkan pasal 13 ayat 1 huruf b, Undang-Undang nomor 15 tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang sebagaimana telah diubah menjadi Undang_undang no.25 tahun 2003, penyedia jasa keuangan (PJK) termasuk didalamnya adalah bank, wajib menyampaikan laporan transaksi yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau mata uang asing yang nilainya setara, baik dilakukan satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam 1 (satu) hari kerja. Laporan transaksi tersebut dikenal sebagai Cash Transaction Report (CTR).
Berdasarkan pasal 1 angka 8 Undang-Undang tindak pidana pencucian uang, yang dimaksud dengan transaksi keuangan yang dilakukan dengan tunai adalah transaksi penarikan, penyetoran, atau penitipan yang dilakukan dengan uang tunai atau instrumen pembayaran lain yang dilakukan melalui Penyedia jasa Keuangan (PJK), sebagai contoh bila nasabah pemegang rekening menyetor tunai minimal sebesar Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) hari kerja, maka bank wajib melaporkan transaksi tersebut ke PPATK. Kedua macam laporan tersebut akan digunakan oleh PPATK sebagai data untuk dilakukan analisa dan outputnya menjadi informasi intelejen keuangan yang akan diberikan kepada pihak yang berkompoten antara lain kejaksaan dan kepolisian untuk ditindak lanjuti.
Pemerintah melalui Undang-undang No. 15 Tahun 2002 dan diperbaharui menjadi Undang-undang No.25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang berupaya untuk meminimalisir pencucian uang, sampai dengan saat ini pelaksanaan UU tersebut berupaya terus ditingkatkan.
Dalam rangka mencegah agar bank tidak dimanfaatkan sebagai sarana pencucian uang, untuk pertama kalinya Bank Indonesia mengeluarkan peraturan PBI No.3/10/PBI/2001 tentang Prinsip Mengenal Nasabah dan diperbaharui dengan PBI No.5/21/PBI/2003 untuk menyesuaikan dengan Undang-undang tahun 2003 tentang perubahan atas Undang-undang No.15 tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang.
Undang-Undang tindak pidana pencucian uang dilakukan Indonesia karena desakan internasional. Alasan ini kental sekali karena sejak tiga tahun lalu Indonesia bersama sejumlah negara lain dinilai sebagai negara yang tidak kooperatif dalam menanggulangi pencucian uang dan terancam sanksi internasional terutama oleh Financial Action Task Force karena tidak mempunyai UU tindak pidana pencucian uang.
Pembentukan UU tindak pidana pencucian uang dimaksudkan agar segala bentuk pencucian uang dapat dicegah dan diberantas serta terhadap pelakunya diberikan sanksi hukum. Praktik pencucian uang “money laundering”dilakukan dengan cara menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana seperti korupsi, penyuapan, penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan imigran, di bidang perbankan, di bidang pasar modal, di bidang asuransi, narkotika, psikotropika, perdagangan manusia, perdagangan senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, di bidang per-pajakan, di bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan, atau tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana 4 (empat) tahun atau lebih, dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.
PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), sebagai lembaga independen yang bertugas menganalisis semua transaksi keuangan yang mencurigakan yang dilaporkan oleh penyedia jasa keuangan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. PPATK oleh UU TPPU diberi kewenangan untuk membantu penegak hukum memberantas tindak pidana pencucian uang dari berbagai kejahatan, baik oleh perorangan maupun korporasi, dalam batas wilayah negara RI maupun di luar batas wilayah negara RI dengan kerja sama regional dan internasional melalui forum bilateral atau multilateral
Proses penegakan hukum terhadap laporan data PPATK yang diterima pihak Kepolisian dan Kejaksaan haruslah segera ditindaklanjuti guna mencegah berpindahnya harta kekayaan hasil tindak pidana dan lolosnya pelaku tindak pidana pencucian uang, yang berakibat akan mengurangi efektivitas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
Pencucian uang di Indonesia diselesaikan dengan asas pembuktian terbalik yakni dimana si pelaku menjelaskan sendiri asal harta kekayaan yang dimilikinya di muka pengadilan bahwa harta kekayaanya bkan merupakan hasil dari suatu perbuatan tindak pidana.
Dan untuk kelancaran pemeriksaan di pengadilan sekalipun terdakwa dengan alasan yang sah tetapi apabila sampai tiga kali dilakukan pemanggilan untuk sidang tidak hadir, hakim dengan putusan sela dapat meneruskan pemeriksaan dengan tanpa kehadiran terdakwa (secara in absentia), sedangkan apabila diperoleh bukti yang cukup di persidangan bahwa terhadap harta kekayaan terdakwa merupakan hasil tindak pidana, maka dapat disita untuk dikembalikan kepada negara.
Sedangkan kepada terdakwa dipidana dengan pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama 15 tahun, dan denda paling sedikit Rp 100 juta dan paling banyak Rp 15 miliar. Sejalan dengan program pemberantasan kejahatan korupsi, penyuapan, terorisme, narkotika, psikotropika, perjudian dan illegal logging dalam pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla maka pemanfaatan UU TPPU dalam mengungkap hasil kekayaan yang tidak sah melalui informasi intelijen yang dihasilkan dari analisis PPATK sangatlah efektif digunakan penegak hukum untuk mengungkap tindak kejahatan kerah putih tersebut.
3.2.   Proses Pencucian Uang.
Secara umum proses pencucian uang ini dapat dikelompokkan dalam tiga tahap, pertama, penempatan (placement), yakni upaya menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana ke dalam sistem keuangan, terutama sistem perbankan. Dalam proses ini terdapat pergerakan fisik uang tunai baik melalui penyelundupan uang tunai dari suatu negara ke negara lain, penggabungan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah.
Kedua, transfer (layering), yakni upaya untuk mentransfer harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil masuk ke dalam sistem keuangan melalui penempatan (placement). Dalam proses ini terdapat rekayasa untuk memisahkan uang hasil kejahatan dari sumbernya melalui pengalihan dana hasil placement ke beberapa rekening lainnya dengan serangkaian transaksi yang kompleks. Layering dapat pula dilakukan dengan transaksi jaringan internasional baik melalui bisnis yang sah atau perusahaan yang memiliki nama dan badan hukum namun tidak memiliki kegiatan apapun.
Ketiga, menggunakan harta kekayaan (integration), yakni suatu upaya menggunakan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil masuk ke dalam sistem keuangan melalui placement atau layering sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan halal (clean money) untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai kegiatan kejahatan.
3.3.   Kendala Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Setelah melalui proses pencucian melalui placement atau layering dialihkan ke dalam kegiatan-kegiatan resmi sehingga tampak seperti tidak berhubungan sama sekali dengan aktivitas kejahatan yang menjadi sumber dari uang tersebut.
Kendala lainnya adalah karena transaksi pencucian uang ini tidak lagi dilakukan dengan cara tradisional, namun telah menggunakan sarana perbankan dengan teknologi yang tinggi dan tidak hanya dilakukan dalam lingkup domestik, tetapi juga dilakukan antarnegara.
Selain itu, penanganan tindak pidana pencucian uang dapat semakin sulit untuk diatasi, karena penyalahgunaan perangkat TI, sehingga TI malah digunakan sebagai media pencucian uang yang canggih, seperti penggunaan Smart Card, maka pelaksanaan transfer melalui sistem jaringan terpadu telah memungkinkan terjadinya perpindahan uang cash tanpa pergerakan fisik yang berpindah dari satu kartu ke kartu yang lain, juga tanpa lewat mediasi lembaga keuangan secara langsung.
Tindak pidana pencucian uang ini merupakan buah simalakama bagi pemerintah Indonesia, karena disatu sisi pemerintah Indonesia memerlukan investasi dari luar negeri (foreign investment) untuk menggerakan ekonomi dan membuka lapangan kerja, tetapi disisi lain Indonesia harus kooperatif memberantas tindak pidana pencucian uang mencegah terkena sanksi yang serius sebagaimana telah diuraikan di depan.
3.4.   Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Selain dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur secara tegas tentang tindak pidana pencucian uang pemerintah juga hendaknya melakukan langkah-langkah yang nyata guna menegakan hukum khususnya dalam hal pencucian uang.
Dalam Pemberantasan tindak pidana pencucian uang pemerintah Indonesia mengadakan kerja sama internasional untuk penanganan praktek pencucian uang juga penting seperti tukar menukar informasi keuangan yang patut dicurigai, kerja sama untuk mendapatkan barang bukti di luar negeri, pembekuan aset-aset yang dicurigai sebagai hasil transaksi pencucian uang dari tindak pidana. Kerja sama pemerintah telah dijalin dengan beberapa Negara diantaranya ; Filipina, Australia, Thailand, Malaysia, Korea Selatan, Romania, Belgia, Italia, Polandia, Spanyol, Peru, China, Kanada, dan Mexico.
Selain itu, mempersiapkan kualitas sumber daya manusia pada lembaga keuangan bank dan non-bank, aparat penyidik baik kepolisian maupun kejaksaan dalam memahami profil transaksi pencucian uang. Untuk itu diperlukan kerjasama antara instansi terkait dengan PPATK, sebagai financial unit yang bertugas melakukan penyelidikan awal untuk membantu pihak kepolisian dan kejaksaan.
Hal lain yang akan dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang adalah rencana Bank Indonesia (BI) untuk menilai atas kecukupan dan efektifitas penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer) dan undang-undang tindak pidana pencucian uang berdasarkan pemeriksaan di bank-bank.
Dari hasil pemeriksaan tersebut nantinya akan diberi nilai dan diperhitungkan dalam penilaian tingkat kesehatan bank. Apabila bank memperoleh nilai rendah, maka akan dikenakan sanksi berupa penurunan tingkat kesehatan dan pelaksanaan penilaian fit & proper terhadap pengurus bank.
Apa yang hendak dilakukan oleh BI hendaknya dijadikan contoh bagi pihak regulator lembaga keuangan non-bank seperti perusahaan asuransi, dana pensiun, perusahaan efek, pengelola reksa dana dan lain sebagainya, agar penerapan undang-undang tindak pidana pencucian uang dapat berjalan dengan efektif, sehingga Indonesia benar-benar keluar dari pemantauan katagori kelompok negara yang tidak cooperatif (NCCTs).
Dalam rangka mencegah agar bank tidak dimanfaatkan sebagai sarana pencucian uang, untuk pertama kalinya Bank Indonesia mengeluarkan peraturan PBI No.3/10/PBI/2001 tentang Prinsip Mengenal Nasabah dan diperbaharui dengan PBI No.5/21/PBI/2003 untuk menyesuaikan dengan Undang-undang tahun 2003 tentang perubahan atas Undang-undang No.15 tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang.
Berdasarkan Undang-undang dan Peraturan Bank Indonesia seluruh bank yang ada di Indonesia wajib memenuhi lima pilar yang menjadi penilaian Bank Indonesia, lima pilar tersebut adalah :
  • 1. Pengawasan aktif manajemen
  • 2. Kebijakan dan prosedur
  • 3. Sumber daya manusia dan pelatihan
  • 4. Sistem Informasi Manajemen
  • 5. Pengendalian Intern dan fungsi pengawasan intern
Sanksi berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia no.6/37/DPNP/2004 akan diberikan berupa teguran, denda sampai dengan satu milyar, penurunan tingkat kesehatan, pembekuan usaha bank sampai dengan pemberhentian komisaris dan direksi (pengurus) bank, bagi yang tidak melaksanakan Peraturan Bank Indonesia tersebut.
Pihak bank dalam pemberantasan pencucian uang selalu melakukan updating data dan profile nasabah sesuai dengan yang sebenarnya serta melaporkan ke PPATK Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (Suspicius Transaction Report) dan Laporan Transaksi Keuangan Tunai (Cash Transaction Report). Dalam melakukan identifikasi transaksi keuangan mencurigakan metode yang digunakan oleh para pencuci uang dapat dikatakan hampir tidak terbatas, sehingga tidak mudah mengidentifikasi transaksi keuangan mencurigakan, dibutuhkan suatu judgement atas dasar fakta-fakta yang kuat dan bukan hanya sekedar tidak adanya suatu informasi tertentu dari nasabah, ketepatan judgement ditentukan oleh kelengkapan informasi nasabah dan transaksi yang dilakukannya serta pelatihan dan pengalaman dari karyawan/pejabat bank selaku penyedia jasa keuangan.
Sekalipun upaya pencegahan agar sistem keuangan tidak digunakan sebagai sarana ataupun sasaran pencucian uang paling efektif dilakukan pada tahap placement, namun upaya identifikasi kegiatan pencucian uang pada tahap layering dan integration harus tetap mendapat perhatian yang sungguh- sungguh. Hal ini mudah dipahami mengingat kegiatan pencucian uang yang tidak terdeteksi pada tahap placement, masih dimungkinkan terjaring pada tahap layering dan tahap integration. Bahkan dengan perkembangan teknologi akhir-akhir ini kegiatan pencucian uang lebih banyak terungkap dari proses identifikasi yang dilakukan pada tahap layering.
Umumnya penyedia jasa keuangan mengajukan beberapa pertanyaan atau meminta keterangan tambahan kepada nasabah ketika dilakukan penyetoran dan pengambilan uang. Hal ini mengakibatkan para pelaku tindak pidana bereaksi yaitu dengan mencari berbagai alternatif teknik placement, antara lain dengan mencampur dana hasil tindak pidana dengan dana yang sah sebelum masuk ke dalam system keuangan. Hal ini dilakukan untuk mempersulit pendeteksian pada tahap placement. Pada tingkat yang sangat canggih sebagian tindak pidana pencucian uang sama sekali tidak melibatkan uang tunai.
IV. PENUTUP.
Saat ini berkembang pemahaman bahwa mencegah para pelaku tindak pidana mengubah dana hasil tindak pidana dari “kotor” menjadi “bersih” dan menyita hasil tindak pidana tersebut merupakan cara yang efektif untuk memerangi tindak pidana itu sendiri. Hal ini karena kekayaan hasil tindak pidana selain merupakan darah yang menghidupi tindak pidana (life blood of the crimes), juga merupakan mata rantai yang paling lemah dari keseluruhan proses kegiatan tindak pidana.
Kemampuan mencuci uang hasil tindak pidana melalui sistem keuangan merupakan hal yang sangat vital untuk suksesnya kegiatan kriminal, sehingga setiap pihak yang terlibat dalam tindak pidana tersebut akan memanfaatkan kelemahan (loop-holes) yang terdapat pada sistem keuangan.
Penggunaan sistem keuangan sebagai sarana tindak  pidana pencucian uang mempunyai potensi meningkatkan risiko bagi penyedia jasa keuangan secara individual, yang pada akhirnya juga dapat meruntuhkan integritas dan stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. Semakin meningkatnya integrasi antar sistem keuangan dunia dan berkurangnya hambatan dalam perpindahan arus dana, akan memperbesar peluang praktik pencucian uang dalam skala global sehingga mempersulit upaya pelacakannya.
Setiap penyedia jasa keuangan yang terlibat dalam tindak pidana pencucian uang akan menanggung risiko dituntut, kehilangan reputasi pasar, yang dapat berakibat merusak reputasi Indonesia sebagai negara/wilayah yang aman dan dapat dipercaya bagi investor.
Pencucian uang sering hanya dihubungkan dengan bank, lembaga pemberi kedit atau pedagang valuta asing. Perlu juga diketahui bahwa selain produk tradisional perbankan seperti tabungan/deposito, transfer serta kredit/pembiayaan, produk dan jasa yang ditawarkan oleh lembaga keuangan lainnya dan lembaga non keuangan juga menarik bagi para pencuci uang untuk menggunakannya sebagai sarana pencucian uang.
Lembaga keuangan maupun lembaga non keuangan lain yang sering digunakan oleh pencuci uang, dengan melibatkan banyak pihak lain tanpa disadari oleh yang bersangkutan, antara lain:
  • a. Perusahaan Efek yang melakukan fungsi sebagai Perantara
  • b. Pedagang Efek
  • c. Perusahaan Asuransi dan Broker Asuransi
  • d. Money broker
  • e. Dana Pensiun dan Perusahaan Pembiayaan
  • f. Akuntan, Pengacara dan Notaris
  • g. Surveyor dan agen real estat
  • h. Kasino dan permainan judi lainnya
  • i. Pedagang logam mulia
DAFTAR PUSTAKA
Djumhana, Muhamad, Hukum   Perbankan  di   Indonesia,  Citra   Aditya
Bakti, Bandung, 2003.
Anwar, Moch., Tindak   Pidana di   Bidang  Perbankan, cet. 2,  Alumni,
Bandung, 1986.
Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
http://www.btn.co.id

Tindak Pidana Pencucian Uang “Money Laundering” Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Anggita

0 comments:

Post a Comment